Rabu, 27 Juni 2012

Kepailitan


Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya.

Dari sudut sejarah hukum, undang-undang kepailitan pada mulanya bertujuan untuk melindungi para kreditur dengan memberikan jalan yang jelas dan pasti untuk menyelesaikan utang yang tidak dapat dibayar.

Undang - Undang Tentang Kepailitan

Sejarah perundang-undangan kepailitan di Indonesia telah dimulai hampir 100 tahun yang lalu yakni sejak 1906, sejak berlakunya “Verordening op het Faillissement en Surceance van Betaling voor de European in Indonesia” sebagaimana dimuat dalam Staatblads 1905 No. 217 jo. Staatblads 1906 No. 348 Faillissementsverordening. Dalam tahun 1960-an, 1970-an secara relatip masih banyak perkara kepailitan yang diajukan kepada Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia, namun sejak 1980-an hampir tidak ada perkara kepailitan yang diajukan ke Pengadilan negeri. Tahun 1997 krisis moneter melanda Indonesia, banyak utang tidak dibayar lunas meski sudah ditagih, sehingga timbul pikiran untuk membangunkan proses kepailitan dengan cara memperbaiki perundang-undangan di bidang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang atau biasanya disingkat PKPU.

Pada tanggal 20 April 1998 pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan yang kemudian telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi Undang-Undang, yaitu Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan tanggal 9 september 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 nomor 135). Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tersebut bukanlah mengganti peraturan kepailitan yang berlaku, yaitu Faillissements Verordening Staatsblad tahun 1905 No. 217 juncto Staatblads tahun 1906 No. 308, tetapi sekedar mengubah dan menambah. Dengan diundangkannya Perpu No. 1 tahun 1998 tersebut, yang kemudian disahkan oleh DPR dengan mengundangkan Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tersebut, maka tiba-tiba Peraturan Kepailitan (Faillissements Verordening S. 1905 No. 217 jo S. 1906 No. 348) yang praktis sejak lama sudah tidak beroperasi lagi, menjadi hidup kembali.

Sejak itu, pengajuan permohonan-permohonan pernyataan pailit mulai mengalir ke Pengadilan Niaga dan bermunculanlah berbagai putusan pengadilan mengenai perkara kepailitan.

Pihak yang dapat mengajukan kepailitan yaitu:

1. atas permohonan debitur sendiri.

2. atas permintaan seorang atau lebih kreditur.

3. oleh kejaksaan atas kepentingan umum.

4. Bank Indonesia dalam hal debitur merupakan lembaga bank.

5. oleh Badan Pengawas Pasar Modal dalam hal debitur merupakan perusahaan efek.

Akibat Hukum Pernyataan Pailit

Pernyataan pailit, mengakibatkan debitur demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak pernyataan putusan kepailitan. Dengan ditiadakannya hak debitur secara hukum untuk mengurus kekayaannya, maka oleh Undang-Undang Kepailitan ditetapkan bahwa terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan, KURATOR berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan atau pemberesan atas harta pailit, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Kurator tersebut ditunjuk bersamaan dengan Hakim Pengawas pada saat putusan pernyataan pailit dibacakan.

Dengan demikian jelaslah, bahwa akibat hukum bagi debitur setelah dinyatakan pailit adalah bahwa ia tidak boleh lagi mengurus harta kekayaannya yang dinyatakan pailit, dan selanjutnya yang akan mengurus harta kekayaan atau perusahaan debitur pailit tersebut adalah Kurator. Untuk menjaga dan mengawasi tugas seorang kurator, pengadilan menunjuk seorang hakim pengawas, yang mengawasi perjalan proses kepailitan (pengurusan dan pemberesan harta pailit). Apabila debitor adalah perseroan terbatas, organ perseroan tersebut tetapberfungsi dengan ketentuan jika dalam pelaksanaan fungsi tersebut menyebabkanberkurangnya harta pailit maka pengeluaran uang yang merupakan bagian harta pailit adalah wewenang kurator.

Namun ketentuan sebagaimana Pasal 21 diatas tidak berlaku terhadap barang-barang sebagai berikut :

1. Benda, termasuk hewan yang benar – benar dibutuhkan oleh debitor sehubungandengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur, dan perlengkapan yang digunakan oleh debitor dankeluarganya.

2. Segala sesuatu yang diperoleh debitor dari pekerjaanya sendiri.

3. Uang yang diberikan kepada debitor untuk memenuhi suatu kewajiban memberinafkah menurut undang-undang.

Pihak – Pihak Yang Terkait dalam Pengurusan Harta Pailit

Dalam penguasaaan dan pengurusan harta pailit yang terlibat tidak hanyakurator, tetapi masih terdapat pihak-pihak lain yang telibat adalah sebagai berikut :

1. Hakim pengawas bertugas untuk mengawasi pengurusan dan pemberesanharta pailit.

2. Kurator bertugas melakukan pegurusan dan atau pemberesan harta pailit.

3. Panitia Kreditor dalam putusan pailit atau dengan penetapan , kemudianpengadilan dapat membentuk panitia kreditor, terdiri atas tiga orang yangdipilih dari kreditor yang telah mendaftarkan diri untuk diverfikasi , denganmaksud memberikan nasihat kepada kurator.

Refrensi :

http://hikmaningtyas.blogspot.com/2012/05/pengertian-perusahaan-pailit.html

http://ugik013-neverendingjourney.blogspot.com/2009/02/kepailitan.html

http://lintangasmara.wordpress.com/2011/05/16/bab-11-kepailitan-dan-penundaan-kewajiban-pembayaran-utang/

0 komentar: